Perancangan Kampanye Sosial Surviving Toxic Relationship Dalam Lingkup Keluarga
Karya ini masuk kedalam pameran SSN- Sharing Screening Networking ” Pameran Tugas Akhir Mahasiswa Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni Rupa IKJ”
Detail Karya Mahasiswa:
Pembimbing I : Dionisius Bowo, M.Sn.
o Pembimbing II : Isworo Ramadhani, S. Sn.
Deskripsi Karya
Latar Belakang Masalah
Berdasarkan statistik yang dilakukan John Bradshaw, 96% dari keseluruhan keluarga adalah keluarga yang disfungsional/toksik. Keluarga dikatakan toksik ketika banyak terdapat konflik, pengabaian terhadap anak, kekerasan fisik/psikis, yang dilakukan secara reguler oleh satu anggota keluarga terhadap anggota keluarga yang lain. (Stephanie Donaldson-Pressman, The Narcissistic Family: Diagnosis and Treatment).
Dilansir dalam Sylvia Brafman Mental Health Center, tinggal dalam lingkungan keluarga yang toksik dalam kurun waktu yang lama dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental seperti stress kronis, depresi, kecemasan berlebih, sifat adiksi.
Kampanye sosial ini dirancang agar para anak usia 18-25 tahun yang tinggal di dalam lingkup keluarga toksik dapat menemukan perspektif baru terkait cara merespon tindakan keluarga toksik lewat sudut pandang korban dan/atau ahli selain itu juga mendapatkan support dalam bentuk kata-kata mutiara. Tujuan kampanye ini adalah menjadikan audiens lebih aware atas permasalahan hubungan toksik yang bukan hanya ada di dalam hubungan percintaan atau pertemanan saja tapi juga dalam hubungan keluarga khususnya antara orangtua dan anak, dan juga aware terhadap hal-hal yang dapat menjadi dampak dari hubungan toksik dengan keluarga itu sendiri bagi tiap tumbuh kembang anak.
Solusi
Bagaimana cara merancang kampanye yang edukatif dan mudah dimengerti untuk membantu korban toxic relationship keluarga bertahan hidup?
Konsep Perancangan
Gagasan Umum
Generasi Z, generasi dengan rentang usia 18 – 25 tahun, seringkali dinyatakan sebagai generasi dengan gangguan kesehatan mental tertinggi dibanding generasi-generasi lainnya. Berdasarkan riset American Psychological Association (APA), 96% dari generasi ini setidaknya pernah mengalami satu gangguan kesehatan mental, seperti depresi, dan/atau kecemasan berlebih. Hal ini 27% lebih tinggi dibandingkan generasi lainnya.
Gangguan pada kesehatan mental yang dialami seringkali justru dikaitkan dengan hal-hal eksternal yang terjadi di luar lingkungan rumah. Seperti misalnya, percintaan, pertemanan tidak sehat, dan lain sebagainya. Hal-hal ini memang memiliki kemungkinan memicu permasalah dengan kesehatan mental, namun berdasarkan interview dengan Widya Saraswati selaku Clinical Hypnotherapist, justru permasalahan pada gangguan kesehatan mental klien-klien yang dihadapinya pada rentang usia di generasi ini, seringkali berasal dari keluarga, dan mereka pun tidak mengira demikian.
Keluarga memiliki peranan khusus dalam membangun karakter dan identitas anak, khususnya dalam masa pertumbuhan awal. Namun, tidak semua keluarga, khususnya orang tua memiliki kepekaan terhadap bagaimana cara yang benar dalam mendidik atau membesarkan seorang anak. Misalnya, pada beberapa lingkungan keluarga dengan latar belakang suku tertentu masih mempercayai bahwa anak laki-laki yang nakal, patut dididik dengan cara dipukul dengan ikat pinggang. Atau, ada pula yang tidak melakukan kekerasan fisik namun melukai melewati ucapan-ucapan verbal, seperti menggunakan atau melabeli anak dengan panggilan tertentu yang tidak pantas.
Ada juga beberapa keluarga yang menggunakan emotional blackmail, seperti ungkapan “Jadi kamu berani durhaka sama ibu? Ingat ya surga di telapak kaki ibu!” atau “Ya sudah kalau kamu mau pindah rumah, lihat saja kamu bisa apa tanpa ayah.” dan lain sebagainya. Beberapa dari perilaku ini seringkali juga masih dianggap sebagai didikan dari suku yang berbeda, misal dari suku A tentu diajarkan dengan keras, dan dari suku B diajarkan dengan kata-kata pedas, sehingga persepsi terhadap perilaku-perilaku yang kurang baik tersebut bias.
Perilaku-perilaku keluarga tersebut dikelompokkan menjadi satu sebutan yaitu: “Toxic”. Perilaku toxic yang berasal dari keluarga atau orangtua jarang sekali dibahas di Indonesia, pun di luar demikian. Hanya ada segelintir buku atau artikel yang membahasnya. Karena hal yang dianggap lebih awam adalah perilaku toxic dalam hubungan berpacaran atau pertemanan. Sehingga seringkali dalam artikel-artikel yang ada, saran untuk penyelesaian masalah yang efektif adalah dengan memutuskan tali hubungan keduanya. Namun, dalam keluarga, pemutusan tali silaturahmi sulit dilakukan. Khususnya bagi generasi z, yang mayoritas belum memiliki kemampuan untuk mengurus hidup sendiri. Maka dari itu, pilihan paling utama adalah dengan cara bertahan hidup di dalam lingkungan keluarga yang “toxic”.
Kampanye adalah rangkaian aktivitas yang memiliki tujuan mempengaruhi, menghambat, dan/atau membelok pencapaian. Dalam hal ini, Ruang Keluarga hadir untuk meningkatkan awareness lebih terhadap para korbannya (dikarenakan banyak yang seringkali mengalami namun tidak menyadari bahwa perilaku keluarga tersebut adalah “toxic”) dan juga untuk memberikan persepsi baru serta pemahaman cara melindungi diri serta memutus “rantai” perilaku toxic yang dilakukan oleh pihak keluarga. Media utama yang digunakan adalah Instagram. Hal ini didasari dari observasi keseharian generasi Z yang mayoritas menggunakan Instagram dalam kurun waktu 4-6 jam dalam sehari. Juga konten yang diletakkan di Instagram akan selalu tersimpan dengan baik, sehingga mengurangi kemungkinan hilangnya media tersebut.
Konsep Visual
Konsep visual yang digunakan untuk kampanye ini adalah jurnal/diari. Hal ini didasari dari bagaimana jurnal/diary merupakan salah satu media bagi seseorang untuk mencurahkan perasaan dan pengalaman yang dialami dengan terbuka dan nyaman – mengingat pembahasan mengenai Keluarga Toksik di Indonesia masih dianggap sebuah hal yang tabu dan tidak semua orang dapat menceritakan permasalahan keluarganya dengan leluasa.
Penggunaan tekstur kertas dimaksudkan untuk memberikan rasa yang familiar, dekat, dan nyata dari karya kampanye ini. Hal ini dilakukan untuk memutus rasa jauh, tidak riil, yang mungkin dihasilkan dari sosial media (karena keterbatasan melihat, dan merasakan). Tema yang diangkat dalam desain dibedakan dengan tiga warna, yaitu: warna coklat untuk membahas tema yang masih umum dan general (pengertian keluarga toksik, ciri, dampak). Pemilihan warna cokelat dimaksudkan untuk memberikan rasa nyaman dan hangat bagi audiens. Sehingga audiens dapat lebih terbuka dengan permasalahan yang ada.
Warna biru digunakan pada tema kekerasan verbal. Hal ini untuk menggambarkan rasa sedih dan s uasana dingin dalam lingkup keluarga yang mempraktekkan kekerasan verbal. Namun, di saat yang sama juga memberikan perasaan tenang (dilandasi dengan observasi pada warna-warna medis yang salah satunya merupakan warna biru, yang memiliki tujuan untuk memberi rasa tenang pada pasien yang masuk di rumah sakit).
Warna yang ketiga adalah warna merah, digunakan pada tema kekerasan fisik. Warna diadaptasi dari bagaimana saat telah dilakukan kekerasan fisik, pastinya ada luka yang membekas. Bisa juga darah. Hal ini digambarkan dengan paduan gradien krem dan merah. Selain untuk menggambarkan hal demikian, juga untuk memberikan kesan urgensi. Bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan kekerasan fisik adalah hal yang urgen dan harus segera ditindaklanjuti, salah satunya denga
mencari bantuan ahli dan/atau perlindungan yayasan atau lembaga.
Warna yang digunakan berupa monokromatik dengan alasan karena warna yang terlalu mencolok, atau terlalu berkontras tinggi dalam jumlah banyak atau dilihat dalam kurun waktu lama dapat menyebabkan stress dan/atau gangguan kecemasan berlebih. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir kemungkinan kontra-produktif dengan kampanye yang dilakukan.
Dalam penerapannya, media utama yang digunakan adalah E-Poster Instagram.
Identitas Kampanye
Nama “Ruang Keluarga” dipilih berdasarkan observasi bagaimana sebuah keluarga; antara suami dan istri, antara orangtua dan anak, atau antar ayah, ibu dan anak, seringkali berkumpul bersama dan menghabiskan waktu di ruang keluarga atau ruang tengah. Selain itu, apabila anggota keluarga lebih dari 3 (ayah, ibu dan anak tunggal), pembicaraan serius akan dilakukan di ruangan keluarga. Hal ini juga menyerupai fungsi. Kampanye yang serupa dengan ruang keluarga, selain untuk pembicaraa serius tentang keluarganya itu sendiri, juga untuk berbagi rasa hangat dan keharmonisan lewat konten-konten yang diberikan.
Logo
Keyword yang digunakan dalam pembentukkan logo dibedakan menjadi tiga, yaitu: tukar pikiran dan senyum (energi positif). Ruang keluarga menjadi tempat sebuah keluarga untuk bercengkrama, bertukar pikiran, Hal itu digambarkan dengan bentuk kutip yang menggantikan huruf E dan G yang distilasi menjadi bentuk kepala dua orang yang sedang berhadapan tanda sedang melangsungkan komunikasi. Komunikasi yang berhasil disampaikan dengan baik ini kemudian dapat menghasilkan vibrasi positif yang menghasilkan senyuman.
Kata “luar” memiliki penekanan dengan alasan kampanye Ruang Keluarga ini hadir sebagai “ruang keluarga” bagi mereka yang merasa di luar keluarganya sendiri.
Tipografi
Tipografi adalah suatu kesenian dan teknik memilih dan menata huruf dengan pengaturan penyebarannya pada ruang yang tersedia, untuk menciptakan kesan tertentu, guna kenyamanan membaca semaksimal mungkin. Dikenal pula dengan sebutan seni rupa huruf (type design), yaitu karya atau desain yang menggunakan pengaturan huruf sebagai elemen utama. Tipografi yang diterapkan pada kampanye ini dibedaka menjadi dua; logo dan feed. Tipografi yang digunakan antara lain: Didact Gothic untuk logo, dan … untuk feed (body text, quote, dan lainya).
- Didact Gothic: Font Didact Gothic digunakan dikarenakan font memiliki tingkat keterbacaan yang baik, tidak terlalu tebal namun juga tidak terlalu tipis.
- Ubuntu: Font Ubuntu digunakan sebagai komplementer dari Didact Gothic, karena memiliki tingkat ketebalan dan keterbacaan yang baik juga sehingga dapat menyeimbangkan font Didact. Selain itu, font Ubuntu juga ditekankan dalam publikasi kutipan atau ungkapan Toxic Family.
- Epic Ride: Penggunaan font Epic Ride hanya digunakan pada sesi sharing dan apabila ada catatan-catatan saja. Hal ini dimaksudkan untuk menyampaikan kesan jurnal (tulisan tangan/coretan).
Warna
Warna yang digunakan pada logo adalah warna coklat. Dikarenakan warna ini mewakili rasa hangat, kesederhanaan, dan keramahan serta kesehatan. Berdasarkan observasi, warna ini digunakan pada beberapa aplikasi-aplikasi diari/jurnal (tempat berbagi keluh kesah atau bicar
unek-unek akan suatu hal yang serius dan sulit dibicarakan seperti adanya keluarga toksik bagi sebagian besar orang Indonesia).
Kampanye Digital: Instagram
Media utama dari kampanye ini adalah e-poster Instagram, dengan perbandingan 1:1 (1000 x 1000 px) untuk feed Instagram, dan perbandingan 16:9 untuk story Instagram. Kedua hal ini disesuaikan dengan ukuran standard publikasi Instagram. Instagram dipilih sebagai media utama kampanye ini dikarenakan berdasarkan Kompas.com, jumlah pengguna aktif bulanan (MAU) Instagram di Indonesia mencapai 61.610.000 pengguna, direkap terhitung bulan November 2019. Hal ini juga didukung dari kuesioner pribadi terhadap 100 audiens dengan target yang sudah ditentukan, dan terhitung 40 dari 100 responden (mayoritas), menghabiskan waktu sebanyak 4 – 6 jam di Instagram. 16 responden (terbanyak ketiga) menghabiskan waktu 7 – 10 jam di Instagram.
Kampanye Digital di Instagram ini bertujuan agar anak yang tumbuh di keluarga toxic dapat mengerti bagaimana cara melindungi dan menyelamatkan diri dari pengaruh buruknya tanpa benar-benar keluar dari lingkungan tersebut. Hal ini dikarenakan berdasarkan interview pribadi, 4 dari 5 anak yang sadar berada di dalam lingkup keluarga yang toksik mengaku tidak memiliki keberanian untuk menyudahi atau memutus hubungan dengan keluarganya. Dengan alasan mendasar seperti: finansial yang belum mapan, masih adanya kebutuhan tinggal bersama, dan lain sebagainya.
Untuk itu, cara melindungi dan menyelamatkan diri dari pengaruh buruk keluarga toksik dijabarkan menjadi beberapa cara. Misalnya, adanya edukasi pengertian, ciri, dan dampak keluarga toksik. Hal ini dimaksudkan agar korban keluarga toksik dapat memiliki pemahaman yang baik tentang bagaimana sebetulnya bentuk keluarga toksik itu sendiri. Sebab untuk dapat mencari jalan keluar atau menyelamatkan diri dari suatu hal, diperlukan pemahaman terlebih dahulu terkait masalah yang dihadapi. Dengan adanya pemahaman ini, barulah dilanjutkan dengan adanya sesi berbagi dari korban keluarga toksik. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan sudut pandang baru kepada sesama korban, terkait bagaimana cara mereka dapat keluar dari lingkungan toksik, cara berhadapan dengan keluarga toksik, dan lain sebagainya. Di lain hal juga memberikan “rasa aman”, bahwa sebagai korban keluarga toksik, audien tidak sendirian. Barulah setelah kedua hal ini, diberikan juga perspektif ahli terkait cara paling baik untuk menghadapi kekerasan verbal di dalam keluarga misalnya. Atau bila hal yang urgensi seperti kekerasan fisik, diberikan juga bantuan kontak dan/atau perlindungan bagi audiens yang ada.
Sistem Grid
Margin yang digunakan untuk post di Instagram adalah 1,5 cm (Kanan, Kiri, Atas, dan Bawah). Menggunakan bleed sebesar 3 mm dengan alasan banyak menggunakan full foto pada background, hal ini dilakukan untuk menghindari sisa spasi putih yang tidak tertutup foto.
Proses Perancangan
Pra Produksi
Media utama dan media pendukung dalam kampanye melewati proses pra-produksi terlebih dahulu. Pra-produksi adalah proses perencanaan sebuah projek sebelum masuk ke dalam tahap produksi.
Konsep & Gagasan Desain
Kampanye ini memiliki konsep visual jurnal/diary. Hal ini dikarenakan jurnal merupakan salah satu media bagi seseorang untuk mencurahkan apa yang dialami dan dirasakan – mengingat pembahasan terkait Toxic Family di Indonesia masih dirasa tabu, dan tidak semua orang bisa menceritakan hal tersebut ke orang lain dengan leluasa (Vitrie Maulani, S.Psi, M.M, Quora, 14 Januari 2020).
Tekstur kertas bermaksud untuk memberikan nuansa familiar, nyata, dan dekat bagi audiens. Mengingat kampanye dilakukan lewat jejaring sosial (jauh, tidak nyata, tidak bisa dirasakan secara riil).
Riset
Riset dimulai dengan pengumpulan data lewat kuesioner Google Form yang disebar kepada Generasi Z (laki-laki dan perempuan, berumur 18 – 25 tahun) yang berdomisili di Jabodetabek, Indonesia. Kuesioner berisi tentang pertanyaan-pertanyaan bagaimana responden melihat gambar dirinya sendiri, dan bagaimana hubungan responden dengan keluarga, dilakukan dalam skala 1 – 5 (sangat tidak baik – sangat baik). Jawaban responden kemudian dianalisis sebab-akibatnya.
Setelahnya, dilakukan wawancara kepada Widya Saraswati, seorang Hipnoterapis Klinis di Infinito. Dari hasil wawancara, perilaku Toxic Family dibedakan menjadi empat, yaitu: Kekerasan Verbal, Kekerasan Fisik, Kekerasan Emosional, dan Kekerasan Seksual.
Moodboard
Moodboard adalah kolase dari gambar, teks, dan atau sampel objek yang ingin dijadikan acuan dalam arahan desain yang akan digunakan. Moodboard yang dipilih disesuaikan dengan target yang sudah ditentukan yaitu generasi Z (18 – 25 tahun). Visual yang dibuat menggunakan ilustrasi dan fotografi namun lebih menitikberatkan pada ilustrasi dikarenakan kampanye dilakukan pada masa pandemi sehingga menyulitkan adanya pemotretan langsung. Moodboard yang digunakan dibedakan menjadi dua, moodboard ilustrasi dan moodboard untuk layout kampanye.
Logogram Ruang Keluarga dibuat menyerupai sofa, dengan menarik garis dari huruf E dan G yang sudah dibentuk menjad tanda kutip stilasi kepala manusia tampak samping. Tanda kutip berstilasi kepala manusia ini bertujuan untuk menggambarkan adanya komunikasi di ruang keluarga. Dan komunikasi dua arah yang baik kemudian menghasilkan senyuman atau energi positif.
Desain Identitas
Ruangan keluarga atau ruang tengah adalah ruang tempat keluarga berkumpul. Apabila dicari atau digambarkan, ruang keluarga selalu identik dengan adanya sofa. Kata luar mendapatkan penekanan tersendiri untuk menggambarkan kampanye ini sebagai “Ruang Keluarga” bagi mereka yang merasa “di luar keluarga”.
Spesifikasi Kampanye Digital
E-Poster Instagram memiliki perbandingan 1:1 dengan ukuran 1000 x 1000 px. Margin yang digunakan pada e-poster ini adalah 1 cm (sama pada semua sisi). Penggunaan margin dimaksudkan agar setiap layout yang dibuat memiliki clear space yang cukup sehingga nyaman dalam membacanya (tidak terlalu ramai/penuh). E-Poster ini juga menggunakan bleed sebesar 0,3 cm. Dikarenakan sebagian besar e-poster di Instagram kampanye ini menggunakan full foto, bleed berfungsi untuk menghindari adanya bagian poster yang tidak tertutup foto (menyisakan putih).
Instagram dipilih sebagai media utama dalam kampanye ini didasari dari hasil perhitungan Kompas.com dimana pada bulan November 2019, jumlah pengguna aktif bulanan Instagram di Indonesia mencapai 61.610.00 pengguna. Hal ini juga didukung dari kuesioner pribadi yang menyatakan 40/100 (mayoritas) generasi z menggunakan Instagram 4 – 6 jam dalam sehari.
Sumber Pustaka/ link
Allen, David M.2010.How Dysfunctional Families Spur Mental Disorders Santa Barbara: Praeger
Alstiel, Tom, Jean Grow.2012.Advertising Strategy: Creative Tactics From the Outside/In.New York London: Sage Publications
Dr. Sherrie Campbell.2019.But, It’s Your Family: Cutting Ties With Toxic Family Members and Loving Yourself in The Aftermath.New York: Morgan James Publishing
Drs. Irwanto,1996.Psikologi Umum: Buku Panduan Mahasiswa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Emery, C. Robert.2012.Renegotiating Family Relationships: Divorce, Child Custody, and Mediation.New York London: Guillford Press
Kim, Mae Carolyn.2016.Social Media Campaigns: Strategies for Public Relations and Marketing. New York London: Routledge Taylor & Francis Group
Lee, Morgan.2017.Toxic Relationships: 7 Alarming Signs That You Are in A Toxic Relationship.UK: Freedom Bound Publishing
Libal, Autumn.2014.Psychosomatic Disorders.Hashemite Kingdom of Jordan: Mason Crest
Parke, Ross D.1994.Exploring Family Relationships With Other Social Contexts. New Jersey: Lawrence Elbraum Associates, Inc
Pressman, Stephanie Donaldson.1994.The Narcissistic Family: Diagnosis and Treatment. New York: Jossey Bass
Wood, A.M., Joseph, S., & Maltby J.2009.Gratitude Preditcs Psychological Well-Being. Personality and Individual Differences, 46, 443-447
Clinical Psychology Review: Gratitude and well-being: A review and theoretical integration by Alex M. Wood, Jeffrey J. Froh, Adam W.A. Geraghty